Skip to main content

Transition to Sustainability: MLP as Framework to Learn about Transition


Menjadi penting untuk mempelajari cara mengendalikan transisi (perubahan) yang terjadi, agar transisi yang terjadi merupakan transisi yang sifatnya berkelanjutan. Concern menuju transisi yang berkelanjutan ini sudah mulai bermunculan, dibuktikan dengan cukup banyaknya riset dan kajian literatur yang dapat ditemukan. Namun, masih sedikit riset mupun kajian yang membahas tentang  transisi berkelanjutan di bidang pangan. Pembelajaran terkait transisi lebih difokuskan pada bidang teknologi dan energi. Sehingga, menjadi penting bagi para peneliti dan akademis di bidang pangan untuk menganalsis transisi di bidang pangan, bagaimana hal tersebut dapat terjadi, faktor apa yang mempengaruhi dan berperan besar, bagaimana transisi dari suatu hal yang baru dapat bertahan. Insight yang semakin dalam terkait transisi ini sangat membantu dalam upaya mencapai transisi pangan yang lebih berkelanjutan.

Adapun dalam mempelajari transisi, dapat digunakan beberapa macam kerangka berpikir. Terdapat dua jenis kerangka pikir yang umum digunakan, yaitu MLP (multi-layer perspective) dan SPT (social practice theory). MLP merupakan kerangka yang biasanya digunakan untuk mempelajari proses transisi yang bersifat inovasi. MLP ini membagi tahapan transisi ke tiga tahap, yaitu: (1) niche; (2) regime; dan (3) landscape.

Pada tahap niche, suatu inovasi yang muncul biasanya masih bersifat baru, yang mana inovasi tersebut biasanya masih belum bisa diaplikasikan secara massal. Inovasi tersebut memiliki niche atau ceruknya sendiri. Pada niche tersebut, pasar untuk inovasi masih sangat sempit dan terfokus, yang mana hanya sekelompok tertentu yang tertarik pada ide dari inovasi tersebut. Keberadaan niche tersebut penting karena mendukung inovasi untuk tetap dapat bertahan dan survive, mengingat inovasi sebagai suatu hal yang baru, asing, dan terasa tidak "mungkin" atau tidak (belum) aplikatif.

Kemudian, pada tahap regime, inovasi yang telah memiliki niche nya sendiri dihadapi dengan ide/teknologi serupa (memiliki fungsi sama) yang sudah ada, "normal", dan digunakan secara massal. Di sini, inovasi ditantang untuk bisa menggantikan ide/teknologi serupa yang sudah ada dan biasa dipakai. Di sini, teknologi yang sudah ada seperti sebuah "regime" yang sudah terbangun dan mengakar. Teknologi yang sudah ada ini biasanya didukung oleh keberadaan lembaga beserta regulasi pemerintah yang mendukung, perusahaan-perusahaan besar yang mengembangkan dan memanfaatkan teknologi tersebut, dsb. Inovasi harus dapat bertahan dari tekanan yang ada dan tidak diredupkan perkembangannya.

Terakhir, bila inovasi dapat bertahan dari regime yang ada, atau bahkan menciptakan "regime" baru yang mendukung inovasi tersebut, maka inovasi masuk ke dalam tahapan terakhir, landscape. Maksud dari landscape di sini adalah kondisi masyarakat/umum yang ada kini. Pada tahap ini, inovasi biasanya sudah mulai mendapat perhatian secara massal dan dianggap aplikatif untuk khalayak umum. Biasanya hal tersebut dapat terjadi karena concern yang berkembang di kondisi masyarakat umum kini dapat dipenuhi atau diatasi oleh keberadaan inovasi tersebut.

Hinrichs dalam artikel jurnal berjudul "Transitions to sustainability: a change in thinking about food systems change?" memberikan contoh penggunaan MLP untuk analisis transisi ke penggunaan energi terbarukan bersumber dari cahaya matahari (photo-voltaic system). Pada awal diciptakan, teknologi photo-voltaic hanya memiliki pasar yang sifatnya kecil dan terfokus (ini yang kita sebut niche), di mana hanya sekelompok terbatas manusia yang berminat dan melakukan investasi untuk pengembangan teknologi tersebut. Keberadaan niche itu meskipun kecil tapi penting untuk menjaga teknologi yang masih baru pada zaman itu agar dapat tetap berkembang.

Kemudian, teknologi diperhadapkan dengan keberadaan regime yang ada. Di sini, teknologi mendapatkan banyak tekanan: (1) kurangnya keberadaan kebijakan maupun regulasi yang mendukung teknologi karena berifat baru sehingga belum ada yang ter-established, (2) tekanan dari perusahaan energi fosil raksasa, (3) kebijakan subsidi untuk energi fosil yang memang menjadi sumber energi utama yang masih bertahan.

Dalam menghadapi regime yang ada, seiring berjalannya waktu, teknologi perlahan didukung oleh adanya perubahan kondisi (landscape) yang ada, yaitu berupa: (1) adanya pergeseran regulasi yang lebih mendukung energi terbarukan dan ramah lingkungan, (2) permasalahan lingkungan yang memaksa segera dikembangkannya energi alternatif ramah lingkungan, (3) pergeseran budaya masyarakat yang lebih aware dan peduli akan kelestarian lingkungan, dsb.   

Sementara, untuk kerangka SPT, transisi dilihat sebagai sebuah pergeseran kehidupan sosial manusia. Tidak seperti kerangka MLP yang sangat memfokuskan ke bagaimana suatu ide/teknologi baru dapat bertahan dan menyebabkan transisi dari teknologi lama ke terknologi baru tersebut. SPT mempelajari bagaimana kebiasaan hidup manusia dapat bergeser (berubah), sehingga tercipta rutinitas dan kebiasaan hidup yang baru dan bertahan dalam jangka yang cukup panjang. Adapun contoh yang diberikan oleh Hinrichs, mengutip dari Shove dalam bukunya "Comfort, Cleanliness and Convenience: The Social Organization of Normality" adalah bagaimana ekspektasi sosial akan kenyamanan, kebersihan, dan kemudahan bergeser karena adanya kemajuan teknologi yang memungkinkan peningkatan ekspektasi tersebut. Contohnya adalah pada saat mencuci dan menjemur baju, zaman dahulu kegiatan tersebut biasa dilakukan pada pagi hingga siang hari. Namun, karena kemajuan teknologi berupa mesin cuci yang dilengkapi pengering, kebiasaan masyarakat menjadi bergeser, tidak harus lagi mencuci pada pagi dan siang hari.

Terakhir, Hinrichs menyimpulkan bahwa transisi merupakan sesuatu yang tidak dapat diprediksi 100%. Namun bukan berarti terjadinya transisi kita biarkan begitu saja. Transisi yang terjadi harus terus kita amati, pelajari dan kontrol selama berlangsung. Dalam hal ini, transisi dapat diumpamakan seperti kita menaiki sebuah bus yang tidak jelas arah tujuannya. Sebagai penumpang dalam bus tersebut, tentunya kita tidak akan selalu melihat yang indah-indah. Yang dapat kita lakukan adalah terus berkomunikasi, bekerja sama, dan terus bertukar pikiran dengan "penumpang lain" dalam bus tersebut mengenai apa yang dialami bersama selama perjalanan, baik itu berupa hal-ha yang baik dan menyenangkan, hingga kekacauan maupun hal yang tidak mengenakkan lainnya.

Sumber:

  • Hinrichs, C. C. (2014). Transitions to sustainability: a change in thinking about food systems change?. Agriculture and human values, 31(1), 143-155.
  • Shove, E. 2003. Comfort, cleanliness and convenience: The social organization of normality. Oxford: Berg.

Comments

Popular posts from this blog

Fermentasi dalam Pembuatan Wine

Fermentasi adalah salah satu cara pemrosesan bahan pangan dengan memanfaatkan mikroorganisme (bakteri atau jamur) atau enzim yang dihasilkan oeh mikroorganisme. Contoh penerapan dari fermentasi yang memanfaatkan mikroorganisme, yaitu pada pembuatan wine. Wine Wine bisa dibuat dari beberapa bahan dasar, terutama buah-buahan , seperti anggur, berry-berry-an bahkan pisang. Red wine and White wine Wine dengan bahan dasar anggur terdiri dari 2 jenis, wine merah ( red wine)  dan wine putih ( white wine ).  Red wine  terbuat dari anggur merah, sedangkan white wine   terbuat dari anggur putih. Sumber :  http://www.millfieldwines.com/red-or-white-making-the-right-decision/ Cara pembuatan wine dari anggur Pembuatan wine dengan bahan dasar anggur memanfaatkan yeast atau ragi  Saccharomyces cerevisiae . Berikut adalah tahapan dalam pembuatan wine. 1. Anggur dihancurkan hingga terbentuk jus. 2. Menambahkan gula dan yeast ke dalam jus. Yeast atau ra...

Pameran Produk Mahasiswa Universitas Surya

Pada hari Rabu tanggal 25 Juli 2018, mahasiswa  Nutrition and Food Technology  Universitas Surya mengadakan pameran produk hasil tugas mata kuliah Keterampilan Manajemen.  Kunjungan ke display produk dodol durian "Dolan" Terdapat total 13 produk makanan yang dipamerkan, yaitu: Abon Ikan "Bon Bon" Permen Cokelat "Chocoday" Dodol Durian "Dolan" Telur Gabus Manis "Gaju" Enting-Enting Gepuk "Genting" Kastengel "Kaasstle" Nastar "Nastahhh" Opak Singkong "Oppa" Ampyang "Palmnotte" Emping Melinjo "Ping-O" Sambal Tempe Kering "Satempe" Sumpia "Tiga Saudara" Wajik "Wadjiek"

Potential Solutions to Global Food Crisis

Krisis pangan dapat diartikan sebagai ketidakmampuan dalam mengakses, memperoleh, atau membeli makanan. Salah satu sumber utama dari krisis pangan yang terjadi di dunia adalah adanya ketidakseimbangan antara peningkatan jumlah penduduk dengan usaha untuk tentap menjaga ketersedian pangan sekaligus pelestarian lingkungan beserta ekosistemnya secara berkelanjutan. Masalah pertumbuhan jumlah manusia yang pesat juga diperparah dengan terjadinya kelangkaan air bersih, erosi/kerusakan tanah, dan perubahan iklim. Masalah-masalah tersebut kian memacu problema krisis pangan global. Fraser, dkk. dalam artikel jurnal yang berjudul "Biotechnology or Organic? Extensive or Intensive? Global or Local? A Critical Review of Potential Pathways to Resolve the Global Food Crisis" mengkaji berbagai perspektif dalam menyelesaikan isu krisis pangan beserta opini yang saling bertolak belakang terkait perspetif tersebut. Menurut Fraser, dkk., krisis pangan dapat disebabkan oleh dua hal: ...