Kini, obesitas bukan hanya identik sebagai permasalahan nutrisi di negara-negara berpenghasilan tinggi. Tetapi, permasalahan obesitas dan kasus kelebihan asupan kalori yang merupakan salah satu pemacu timulnya penyakit kronis seperti diabetes, kanker, dsb. mulai berkembang di negara-negera berpenghasilan rendah hingga menengah (LMIC's). Sementara, pemasalahan kekurangan nutrisi juga masih dapat ditemukan dalam jumlah besar pada negara-negara tersebut, membuat permasalahan kelebihan dan kekurangan nutrisi saling berdampingan.
Di negara LMIC's kasus obesitas maih kurang mendapat perhatian, tercermin dari kurangnya regulasi dari pemerintah maupun riset-riset yang meng-address permasalahan tersebut. Fokus masih kepada mencukupi asupan nutrisi golongan masyarakat yang mengalami kekurangan nutrisi.
Kekhawatiran terkait perkembangan kasus obesitas dan kurangnya perhatian terkait permasalahan tersebut dibahas oleh Barry M. Popkin melalui artikel yang berjudul "Nutrition, Agriculture, And The Global Food System In Low And Middle Income Countries”. Pada artikel tersebut, Popkin membahas bahwa penyebab terjadinya hal tersebut adalah adanya pergeseran pola pangan dan rantai nilai pangan di negara LMIC's. Untuk membahas pergeseran rantai nilai pangan tersebut, penulis membahas konflik perspektif dari 2 kelompok, yaitu nutrisi dan agrikultur.
Konflik Perspektif di Kelompok Nutrisi
Pada artikel, dibahas dua konflik utama, yaitu: (1) Fokus perbaikan gizi ke 1000 hari pertama; dan (2) Mendorong pola makan tradisional dan konsumsi makanan asli.
Konflik pertama adalah mengenai fokus hanya ke 1000 hari pertama kehidupan manusia. Pada artikel, ditekankan bahwa hanya berfokus pada 1000 hari pertama hidup tidak cukup dalam menghadapi permasalahan malnutrisi dunia. Ini karena, permasalahan kelainan gizi (baik itu kelebihan maupun kekurangan) merupakan permasalahan intergenerasi. Sehingga menjadi penting untuk turut memperhatikan tahap pertumbuhan dari seseorang. Oleh karena itu, selain nutrisi ibu dan anak, pertumbuhan yang memadai untuk wanita muda juga menjadi salah satu usaha dalam mengatasi permasalahan yang bersifat transmisi antargenerasi, seperti permasalahan berat badan lahir rendah dan pola pertumbuhan buruk.
Terkait hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Popkin, Adair, dan Ng (2012) telah membuktikan bahwa wanita yang kekurangan nutrisi saat masa anak-anak akan memiliki risiko yang lebih tinggi dalam mengalami obesitas dan gangguan toleransi glukosa saat dewasa. Kondisi tersebut jika mempengaruhi kehamilan akan menyebabkan keturunannya berisiko mengalami obesitas dan diabetes.
Konflik kedua adalah mengenai upaya kembali ke pola makan tradisional dan konsumsi makanan asli (segar). Pada artikel tersebut, disinggung bahwa apakah upaya untuk kembali ke pola makan tradisional terkesan naif. Kondisi negara yang semakin mengarah ke urbanisasi dan gaya hidup praktis dan serba cepat membuat kembalinya ke pola makan tradisional terasa sulit. Belum lagi bila melihat masifnya pertumbuhan sektor retail modern dan konsumsi makanan olahan di negara LMIC's. Perubahan pola makan ke makanan segar dinilai akan sulit menjangkau populasi luas dan secara global, yaitu dari segi ketersediaan, kesegaran (preservation), dan harga di konsumen akhir. Dari segi penerimaan, makanan olahan telah mengalami pemrosesan sedemikian rupa seperti penambahan zat aditif yang membuatnya menjadi lebih sedap untuk dimakan.
Konflik Perspektif di Kelompok Agrikultur
Dari perspektif agrikultur, dibahas bahwa masih kurangnya fokus riset di bidang agrikultur terkait kasus kelebihan nutrisi. Selain itu, riset-riset masih berfokuskan pada sistem pertanian yang tradisional. Padahal, dapat dilihat terdapat pergeseran sistem pertanian di LMIC's yang semakin modern dan berdampak pula ke pergeseran sistem pemerolehan makanan yang melibatkan rantai nilai pangan lebih panjang (pemasok bahan baku lalu ke industri pemrosesan dan retail modern, baru ke konsumen akhir).
Selain membahas konflik perspektif yang ada di dua kelompok, di dalam artikel dibahas juga mengenai pertumbuhan sektor ritel modern di negara LMIC's, yaitu yang dibahas adalah negara Tiongkok dan Meksiko. Di dalam artikel, Popkin menggaris bawahi market share sektor makanan segar masih dikontrol oleh pasar tradisional. Sementara untuk makanan olahan dalam kemasan mayoritas dikontrol oleh ritel modern. Dari fakta tersebut, dikhawatirkan bahwa akan ada pergeseran ke konsumsi makanan olahan seiring berkembangnya pasar ritel modern ini.
Popkin juga mengumpulkan data terkait pengeluaran per kapita masyarakat di negara berpenghasilan tinggi dan rendah hingga menengah terhadap produk pangan olahan. Diperoleh bahwa negara berpenghasilan tinggi memiliki tingkat pengeluaran yang jauh lebih tinggi. Meskipun begitu, Popkin melihat adanya pertumbuhan yang cepat di negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah. Hal tersebut memperlihatkan adanya pergeseran pola makan di negara-negara LMIC's, yang mana mulai beralih ke konsumsi makanan kemasan dibandingkan segar.
Lalu, apa sebenarnya concern utama dari pertumbuhan pesat sektor ritel modern dan makanan olahan di negara LMIC's?
1. Urbanisasi dan keselekif-an membeli produk pangan di ritel modern
Negara berpenghasilan rendah hingga menengah merupakan negara yang biasanya baru menuju ke perkembangan ekonomi dan gaya hidup ke arah urbanisasi. Perubahan gaya hidup perkotaan ini membuat masyarakat menuntut pemenuhan pangan yang cepat dan praktis. Di sisi lain, karakteristik penghasilan yang menengah ini membuat masyarakat juga menuntut makanan yang tersedia memiliki harga yang masih bisa dijangkau. Makanan kemasan yang dijual dengan relatif rendah tersebut biasanya merupakan makanan empty calories. Makanan empty calories merupakan makanan yang dipasarkan dengan harga relatif murah, memiliki kadar kalori yang tinggi namun memiliki kualitas gizi yang rendah (tidak padat gizi).
Lebih lanjut, pembelian makanan segar di pasar ritel modern oleh masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah cenderung tidak mungkin. Ini karena makanan segar yang dijual di pasar ritel modern biasanya memiliki harga yang jauh lebih mahal sehingga sulit dijangkau golongan masyarakat tersebut.
2. Masih rendahnya pengetahuan akan kecukupan nutrisi dan gaya hidup sehat
Pengetahuan yang rendah membuat masyarakat menjadi kurang selektif dalam membeli makanan yang memiliki kecukupan gizi lengkap. Yang lebih dipentingkan adalah ekonomis dan mengenyangkan.
Terakhir, Popkin menekankan bahwa dampak yang ditimbulkan oleh pergeseran pola makan di negara LMIC's, terutama ke kesehatan masyarakatnya masih sangat minim. Sehingga, riset-riset ke depan yang membahas permasalahan tersebut sangat dibutuhkan.
Akuntabilitas dalam Memerangi Obesitas
Swinburn, dkk. dalam artikelnya yang berjudul "Strengthening Of Accountability Systems To Create Healthy Food Environments & Reduce Global Obesity" membahas bagaimana penguatan terhadap akuntabilitas merupakan tingkatan selanjutnya dari pemenuhan tanggung jawab oleh setiap pemangku kepentingan dalam upaya memerangi obesitas. Pada artikel tersebut, penulis membedakan antara tanggung jawab dan akuntabilitas. Akuntabilitas merupakan suatu bentuk pemenuhan tanggung jawab dan memungkinkan pelaksanaan tanggung jawab tersebut untuk diamati, diawasi, dan dinilai oleh pihak lain yang memiliki wewenang atau yang memperoleh dampak dari terpenuhi/tidaknya tanggung jawab tersebut.
Di dunia pangan, pemangku kepentingan utama yang berperan dalam sistem pangan adalah pemerintah sebagai pembuat kebijakan, industri pangan sebagai produsen, dan masyarakat secara luas sebagai konsumen produk pangan. Di era globalisasi sekarang, proses pangan menjadi sangat kompleks, melibatkan berbagai perusahaan pangan trans-nasional, pasar internasional, perjanjan perdagangan lintas negara, lembaga dan investor internasional.
Tidak dapat dipungkiri, kekuatan dari perusahaan-perusahaan raksasa beserta tuntutan dari perdagangan yang kini semakin bebas ini sangat besar. Kekuatan yang tidak seimbang antar para pemangku kepentingan ini berdampak kepada sulitnya memerangi obesitas. Perusahaan dengan kepentingannya untuk memperoleh profit semaksimal mungkin menjadi lebih dominan dibandingkan kepentingan aktor-aktor lain, terutama masyarakat yaitu untuk memerangi permasalahan obesitas dan mencapai hidup dan pola makan yang lebih sehat dan bernutrisi.
Kolaborasi antar setiap pemangku kepentingan dalam memberantas obesitas ini penting. Namun, sering kali masalah yang ditemui adalanya kurangnya transparansi dari upaya yang telah dilakukan, akuntabilitas publik yang tidak tersedia, dan kurangnya pengelolaan dari konflik kepentingan di tiap stakeholders.
Penulis artikel membahas kerangka kerja akuntabilitas yang dapat diterapkan untuk mencapai lingkungan makan sehat. Adapun, dipakai kerangka kerja dari Kraak, dkk. Kelebihan dari kerangka ini adalah dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, kredibel, dan berwenang dalam menentukan tujuan hingga tindakan yang harus dilakukan oleh setiap pemangku kepentingan sebagai partisipasi dalam mendukung perbaikan pola makan yang sehat. Dengan adanya pihak ketiga tersebut, proses enforcement atau penegakan yang ditetapkan ke setiap pemangku kepentingan menjadi lebih adil dan jelas (eksplisit).
Kerangka kerja akuntabilitas tersebut meliputi beberapa tahapan:
Kerangka kerja akuntabilitas tersebut meliputi beberapa tahapan:
1. Take the account
Pada tahap ini, segala data terkait regulasi dan kebijakan, impemtasi, perkembangan, dan efek yang ada terkait upaya menciptakan lingkungan pangan yang sehat dikumpulkan dan dievaluasi. Tahap ini membantu dalam memonitor sudah sejauh mana progress yang ada di tiap stakeholders.
2. Share the account
Pada tahap ini, segala data yang ada dikomunikasikan ke setiap stakeholders secara transparan, konkrit, dan menyeluruh. Keterbukaan dan informasi yang dapat menjangkau semua pihak pemangku kepentingan sangat penting.
3. Hold the account
Pada tahap ini, dilakukan enforcement atau penegakan baik berupa pemberian insentif maupun sanksi terhadap dipenuhi atau tidak terpenuhinya tanggung jawab yang dimiliki oleh masing-masing stakeholders dalam upaya menjadi lingkungan pangan lebih sehat. Terdapat beberapa tingkatan penegakan yang bisa dilakukan. Dimulai dari law sebagai bentuk tindakan penegakan tertinggi, diikuti quasi-regulatory, political, market-based, public communications, dan terakhir yang paling rendah adalah private communications.
4. Respond to the account
Terakhir, bentuk pelaksanaan yang dilakukan setiap stakeholders terus diamati dan dievaluasi. Sehingga bila dibutuhkan atau dimungkinkan, segala kebijakan, tindakan, dan struktur akuntabilitas dapat terus diperbaiki dan ditingkatkan performanya untuk mencapai lingkungan pangan dan populasi yang sehat.
Sumber:
Sumber:
- Popkin, B. M. (2014). Nutrition, agriculture and the global food system in low and middle income countries. Food policy, 47, 91-96.
- Swinburn, B., Kraak, V., Rutter, H., Vandevijvere, S., Lobstein, T., Sacks, G., ... & Magnusson, R. (2015). Strengthening of accountability systems to create healthy food environments and reduce global obesity. The Lancet, 385(9986), 2534-2545.
Comments
Post a Comment