![]() |
Sumber: https://id.tastemade.com |
Makanan Indonesia, Soto Betawi ternyata mendapatkan pengaruh dari berbagai budaya luar Indonesia. Denys Lombard dalam bukunya yang berjudul Nusa Jawa: Silang Budaya bagian kedua berpendapat bahwa makanan soto merupakan salah satu makanan Indonesia yang mendapatkan pengaruh dari bangsa Tiongkok. Beliau pun berpendapat bahwa wajar pengaruh bangsa Tiongkok itu banyak ditemukan di banyak makanan Indonesia, sebut saja siomay (adaptasi dari makanan Tiongkok Shumai), lumpia, dan sebagainya. Salah satu faktor pendukung hal tersebut adalah dikatakan pada zaman dulu mayoritas restoran di nusantara dikelola oleh orang Tiongkok, dan hanya sebagian kecil diisi oleh restoran Padang maupun warung sederhana terbuka di Jawa.
Soto sendiri dipercaya merupakan hasil adaptasi dari makanan Tiongkok, cao du (草肚, tsháu-tōo). Terdapat beberapa nuansa budaya atau pengaruh Tiongkok yang melekat di makanan soto. Contohnya penggunaan mi atau bihun dalam beberapa variasi soto. Penggunaan tauge dalam beberapa jenis soto di Indonesia juga merupakan salah satu pertanda dari adanya pengaruh kebudayaan Tiongkok. Ini karena kacang hijau dipercaya merupakan tanaman yang dibawa oleh bangsa Tiongkok. Kata “kuah” yang merujuk ke salah satu cara memasak juga berasal dari bahasa Tiongkok. Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat dilihat bahwa pengaruh kebudayaan Tiongkok dalam makanan soto cukup kuat.
Soto Betawi sebagai salah satu jenis soto yang ada di Indonesia juga mendapatkan pengaruh dari kebudayaan lain selain dari bangsa Tiongkok, yaitu dapat dilihat dari penggunaan santan dalam pembuatan kuah Soto Betawi. Menurut Gardjito, Putri, dan Dewi (2018), penggunaan santan mendapatkan pengaruh dari Gujarat, India yang mana waktu itu datang sebagai pedagang. Pengaruh India dalam penggunaan santan nampak juga dari makanan India yang juga banyak diadaptasi oleh Indonesia, yaitu kari. Penggunaan santan dalam berbagai masakan di Indonesia didukung juga oleh faktor ketersediaan, terutama di daerah pesisir Indonesia dengan keberadaan pohon kelapa yang melimpah. Daerah Jakarta zaman dulu juga memang banyak ditumbuhi oleh pohon kelapa (AKI, 2016).
Selain budaya India, makanan soto Betawi juga mendapat pengaruh dari bangsa Arab, terutama dari penggunaan rempah-rempah seperti jinten dan kayu manis (Gardjito, Putri, dan Dewi, 2018).
Selain dari segi bumbu rempah dan santan, salah satu ciri khas dari makanan Soto Betawi dibandingkan jenis soto lainnya adalah penggunaan jeroan sapi. Gardjito, Putri, dan Dewi dalam bukunya yang berjudul Profil Struktur, Bumbu, dan Bahan dalam Kuliner Indonesia berpendapat bahwa penggunaan jeroan daripada daging sapi ini disebabkan kondisi masyarakat Betawi pada masa penjajahan Belanda. Ketika para meneer Belanda mengadakan pesta, mereka biasanya akan menyembelih sapi dan menggunakan bagian dagingnya untuk dijadikan bahan baku hidangan pada pesta tersebut. Sementara, sisaan seperti kepala, jeroan, serta iga sapi dibagikan ke para pekerja. Penggunaan bahan baku bukan daging pada masakan Indonesia juga ditemukan pada Soto Tangkar. Pada Soto Tangkar, digunakan bagian potongan iga sapi yang berdaging sedikit.
Kini, terdapat berbagai variasi dalam pembuatan Soto Betawi. Ada yang menggunakan santan saja, ada yang menggunakan susu saja, dan ada juga yang menggunakan campuran dari keduanya. Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber Yahya Andi Saputra, pembuatan kuah Soto Betawi menggunakan susu ini dipopulerkan oleh Soto Betawi Haji Maruf. Awalnya susu ditambahkan oleh beliau pada kuah soto sebagai pengganti santan yang habis, sementara bahan-bahan lain masih tersisa banyak. Namun, penambahan susu justru tersebut ternyata membuat rasa soto semakin gurih. Ada pula yang berpendapat bahwa penggunaan susu didukung oleh melimpahnya produksi susu pada tahun 1960-an di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan (AKI, 2016).
Sumber literatur:
AKI (Akademi Kuliner Indonesia). 2016. Kuliner Betawi Selaksa Rasa dan Cerita. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Gardjito, Murdijati, Rhaesfaty Galih Putri, and Swastika Dewi. 2018. Profil Struktur, Bumbu, dan Bahan dalam Kuliner Indonesia. Yogyakarta: UGM Press.
Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian II: Jaringan Asia. Translated and edited by Winarsih Partaningrat Arifin, Rahayu S. Hidayat, and Nini Hidayati Yusuf. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.
Terima kasih juga diucapkan kepada narasumber, Bapak Yahya Andi Saputra yang sudah meluangkan waktunya dan bersedia untuk diwawancara.
Comments
Post a Comment